Jumat, 01 Juni 2018

Pendidikan Seksualitas berbasis fitrah
Ada tiga tujuan utama yang ingin dicapai pada pendidikan fitrah seksualitas :

1. membuat anak mengerti tentang identitas seksualnya. Anak bisa memahami bahwa dia itu laki-laki ataupun perempuan.

2. mengenali peran seksualitas yang ada pada dirinya. Anak mampu menempatkan dirinya sesuai peran seksualitasnya.

Seperti cara berbicara, cara berpakaian atau merasa, berpikir dan bertindak.

Sehingga anak akan mampu dengan tegas menyatakan “saya laki-laki” atau “saya perempuan”.

 3. mengajarkan anak untuk melindungi dirinya dari kejahatan seksual.

Bagaimana cara membangkitkan fitrah seksualitas pada anak?

-Membangkitkan fitrah seksualitas anak bisa dimulai sejak mereka dilahirkan.

-Pada framework pendidikan berbasis fitrah, membangkitkan fitrah seksualitas pada anak berbeda menurut tahap usia anak masing-masing.

Lalu bagaimana mendidik fitrah seksualitas?

Inti mendidik fitrah seksualitas adalah terbangunnya attachment (kelekatan) serta suplai ke ayahan dan suplai keibuan.

Usia 0-2 tahun – merawat kelekatan (attachment) awal

Anak lelaki atau anak perempuan didekatkan kepada ibunya karena ada masa menyusui. Ini tahap membangun kelekatan dan cinta.

Usia 3-6 tahun – menguatkan konsep diri berupa identitas gender

Anak lelaki dan anak perempuan di dekatkan kepada ayah dan ibunya secara bersama. Usia 3 tahun, anak harus dengan jelas mengatakan identitas gendernya. Misaonya anak perempuan harus berkata “bunda, aku perempuan”, sebaliknya juga anak lelaki.

Jika sampai usia 3 tahun masih “bingung” identitas gendernya, ada kemungkinan sosok ayah atau sosok ibu tidak hadir. Inilah tahap penguatan konsep identitas gender pada diri anak

Pada tahap ini praktek “toileting”, dapat dijadikan juga sarana menumbuhkan fitrah seksualitas berupa penguatan konsep diri atau identitas gendernya

Usia 7-10 tahun – menumbuhkan dan menyadarkan potensi gendernya

Ini tahap menumbuhkan identitas menjadi potensi. Dari konsepsi identitas gender menjadi potensi gender. Dari keyakinan konsep diri sebagai lelaki dan sebagai perempuan, menjadi aktualisasi potensi diri sebagai lelaki atau potensi diri sebagai perempuan pada sosialnya.

Karenanya di tahap ini, anak lelaki lebih didekatkan kepada ayah, agar mendapat suplai “kelelakian” atau maskulintas, melalui interaksi aktifitas dengan peran peran sosial kelelakian, misalnya diajak ke masjid, diajak naik gunung, diajak olahraga yang macho, dll.

Para ayah sebaiknya mulai berusaha menjadi idola anak lelakinya, dengan beragam kegiatan maskulin bersama, sampai anak lelakinya berkata aku ingin menjadi seperti “ayah”.

Lisan dan telinga ayah harus nampak sakti bagi ana lelakinya. Ayah harus menjadi penutur hebat bagi anak lelakinya dengan narasi narasi besar sejarah dan peradaban serta peran keluarganya dalam menyelesaikan masalah ummat atau menghidupkan potensi ummat dalam pentas peradaban.

Ayah juga yang harus menjelaskan tentang “mimpi basah” dan fiqh kelelakian, seperti mandi wajib, peran lelaki dalam masyarakat, konsep tanggungjawab aqilbaligh, pokok aqidah dstnya ketika anak lelakinya menjelang usia 10 tahun

Anak lelaki yang tidak dekat dengan ayahnya atau kekurangan suplai maskulinitas akan mengalami permasalah peran kelelakian ketika dewasa.

Sejalan dengan di atas, pada tahap ini, anak perempuan lebih didekatkan kepada ibunya, agar mendapat suplai “keibuan” atau suplai feminitas, melalui interaksi aktifitas dengan peran peran sejati sosial keperempuanan, misalnya merawat keluarga, memasak, menjahit, menata rumah, menata keuangan dstnya.

Para Bunda, disarankan berhenti “catering” dan “menjahit sendiri”, tunjukan pada anak perempuan bahwa tangan dan kaki bunda “sakti”. Jadikan “mukena” pertamanya adalah jahitan tangan ibunya sendiri.

Sederhana bukan?

Para Bunda sebaiknya mulai berusaha menjadi idola bagi anak perempuannya, sampai ia berkata. “Aku ingin seperti bunda, keren banget”.

Bunda juga yang harus menjelaskan tentang “haidh” dan fiqh perempuan, seperti mandi wajib, peran wanita dalam masyarakat, konsep tanggungjawab aqilbaligh, pokok aqidah dstnya ketika anak perempuannya menjelang usia 10 tahun

Anak perempuan yang tidak dekat dengan Ibunya atau kekurangan suplai “feminitas” pada tahap ini, diragukan akan menjadi perempuan sejati atau ibu yang baik kelak.

Usia 11-14 Tahun – Mengokohkan Fitrah Seksualitas

Setelah fitrah seksualitas kelelakian dari anak lelaki dianggap tuntas bersama ayahnya, kini saatnya anak lelaki lebih didekatkan kepada ibunya, agar dapat memahami perempuan dari cara pandang seorang perempuan atau ibunya.

Anak lelaki harus memahami “bahasa cinta” perempuan lebih dalam, karena kelak dia akan menjadi suami dari seorang perempuan yang juga menjadi ibu bagi anak anaknya.

Anak lelaki yang tidak lekat dengan ibunya pada tahap ini, berpotensi untuk menjadi “playboy”, dan kelak menjadi suami yang berpotensi kasar, kurang empati dstnya

Begitupula sebaliknya, setelah fitrah seksualitas keperempuanan dari anak perempuan dianggap tuntas bersama ibunya, kini saatnya anak perempuan lebih didekatkan kepada ayahnya, agar dapat memahami lelaki dari cara pandang seorang lelaki.

Anak perempuan harus memahami “bahasa seorang lelaki” secara mendalam, karena kelak dia akan menjadi istri dari seorang lelaki yang juga menjadi ayah dan imam bagi keluarganya.

Anak perempuan yang tidak dekat dengan ayahnya di tahap ini, kelak menurut riset berpeluang 6 kali menyerahkan tubuhnya kepada lelaki yang dianggap sosok ayahnya.

Anak perempuan yang dekat dengan ayahnya, secara alamiah memiliki mekanisme bertahan untuk mampu membedakan mata lelaki baik dan mana lelaki buruk dalam kehidupan sosialnya.

Catatan: Kasus anak yang dipisahkan dari ayah Ibunya terlalu cepat sebelum aqilbaligh (usia 15 tahun), baik karena peperangan, bencana, perceraian maupun karena dikirim ke boarding school, menurut banyak riset akan mengalami penyimpangan seksualitas. Kasus LGBT juga banyak terjadi di Pondok Pesantren dengan korban anak anak yang belum aqilbaligh.

Usia >15 tahun

Ini masa dimana fitrah seksualitas kelelakian matang menjadi fitrah peran keayahan sejati, dan fitrah seksualitas keperempuanan matang menjadi peran keibuan sejati.

Wujudnya adalah kesiapan untuk memikul beban rumahtangga melalui pernikahan, membangun keluarga, menjalani peran dalam keluarga yang beradab pada pasangan dan keturunannya.




#fitrahseksualitas
#learningbyteaching
#bundasayangsesi11

Tidak ada komentar:

Posting Komentar